Demak dengan sebutan Kota Wali sudah jadi legenda. Demak terkenal sentra Belimbing dan jambu merah Delima serta Citra sudah jadi buah bibir. Tapi, pernah kah mendengar, Demak sebagai Kota Garam?.
Alis pelipis banyak orang pasti mengkerut mendengarnya. Namun fakta tak bisa dibantah, jika Demak puny potensi yang besar sebagai penghasil garam.
Bahkan, saking melimpahnya, bisa diibaratkan jika garam Demak bak berlian yang belum diasah. Berlebihan?. Tidak!.
Menilik posisi geografis Demak yang masuk kawasan Pantau Utara Jawa (Pantura), Demak daerah yang punya pantai, artinya memiliki potensi menjadi lumbung garam.
Fatchulloh Muslim (60), salah satu pedagang dan pengolah garam bahkan menyebut, jika Demak salah satu kabupaten penyangga garam nasional. Dibanding Garam produksi daerah lain, kualitas produk Demak lebih bagus.
Namun sayang, produksi garam di Demak belum dilakukan secara maksimal sehingga produksinya secara kuantitas masih terbatas.
“Sekarang ini pengolahannya masih dilakukan secara tradisional, dan konvensional, belum maksimal ’’ujar Fatchulloh, Minggu (6/10).
Padahal, diakui Fatchulloh, garam Demak jika diolah dengan baik, bisa menjadi potensi peningkatan ekonomi yang cukup menjanjikan. Salah satunya karena garam demak benar benar dipisahkan unsur unsur yang tidak berguna seperti lumpur.
Pernyataan Fatchulloh bukan anti teori. Sebab, industri olahan yang sudah dirintis cukup lama, dengan sistem gotong royong dibawah bendera ‘Bu Eka’ ( Bina Usaha Ekonomi Keluarga Aisyiah – Deuya ) bersama usaha sejenis lainnya, yakni Sarela, sekarang punya kemampuan untuk mengolah garam krosok menjadi garam konsumsi, garam industry (kosmetik) dan juga untuk relaksasi ( garam Kesehatan).
‘’Produksi kami mampu menghasilkan garam (NACL) dengan kadar 99,99 persen. Meski begitu karena pasokan krosok terbatas, volumenya pun jadi terbatas,’’ungkapnya.
Meniliki kondisi serupa dia berharap ada kebijakan, dan peran dari pemerintah untuk ikut bersama mengatasi persolan produksi garam ini.
‘’Sebenarnya potensial, jika volume dan mutu dapat dijaga kami dapat mengambil krosok dari petani Rp 2500/kgnya. Saat ini harga masih fluktuatif, kisaran Rp 500 -1500 /kgnya,” jelas tokoh yang sudah kenyang makan asam garam di dunia pergaraman itu sendiri.
Selain memacu produksi dengan sistem gotong royong, Fatchulloh berharap pemerintah juga jangan terlalu memberi kebebasan praktik impor garam.
Sebab kebijakan ini bagaimana pun sama artinya tidak memberi kesempatan petani garam menapaki hidup Sejahtera.
‘’Ya bagaimana dapat menikmati hasil jerih payah, setiap kali panen raya produk lokal selalu kalah dengan garam impor, terutama garam Australia,’’ ucapnya dengan nada sedih.
Karena itu, Fatchulloh berharap, dengan adanya intervensi dari pemerintah, kepastian pasokan bahan baku bisa terjamin.
Pasalnya, produksi garam memang sangat tergantung cuaca, adanya panas matahari. Dengan system intensifikasi dapat dikondisikan produksi petani dipacu sedemikain rupa.
Selama musim panas produksi itu dipacu, dengan begitu saat musim hujan tiba garam sudah aman di gundang. Kondisi ini memungkinkan pasokan ke tempat pengolahan terjaga.
“’Kalau sinergi semacam itu dapat dilakukan, harga dapat dijaga. Kami bahkan mampu membeli Rp 2000 dari petani,’’ kata Fachulloh.
Sebab, selama ini, kata Fatchulloh, kecenderungan yang terjadi karena produksi petani belum dioptimalkan. Mereka bekerja selama musim kemarau saja.
Sedangkan volumenya terbatas, maka proses pengolahan seringkali berhenti jika musim hujam. Pola yang seperti itu sangat tidak cocok berbicara tentang kompetitiveness.
Untuk itu Fatchulloh sungguh sungguh berharap, momentum penataan dan pemberdayaan dapat dilakukan.
Selain soal intervensi pemerintah dalam proses produksi, ia juga berharap adanya perhatian dari pemerintah terutama soal pemasaran yang lebih luas. Diakui olehnya, saat ini garam hasil produksinya telah dikirim Semarang, Solo dan Jogja .
Dan, saat ini Fachulloh sedang berusaha untuk dapat masuk ke beberapa Rumah Sakit di Demak , agar dapat membeli garam hasil produksi dari daerah Demak sendiri.